Selasa, 21 Mei 2013

PENGNATAR HUKUMISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama Allah yang  Maha Pengasih dan Penyayang tiada kata yang pantas kita ucapkan melainkan ungkapan Alhamdulillah karena atas nikmat-nikmat-Nya lah kita dapat beraktifitas dengan tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Sholawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Akhiruszaman yang telah meng-anugerahkan beberapa hukum yang bisa diterima dan saling meringankan bagi kaumnya.
Agama itu mudah. Siapa yang hendak membuatnya sulit, niscaya akan dipersulit.” (HR. Bukhori)
“ mudahkanlah, jangan menyulitkan, tebarkanlah percaya diri, jangan membuat orang menjadi pesimis.”(HR. Bukhori)
Begitulah yang dapat kita ketahui diantara hadist-hadist yang diriwayatkan dari Rosullah Saw. Bahwa dari beberapa hadist ini menegaskan bahwa Rasullah menghendaki ha-hal yang memudahkan untuk menegakkan syariat bagi para ummatnya. Dan hal tersebut juga di tegaskan dalam Al-Qur’an .
sesungguhnya Allah takkan membebani seorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya.” (QS. Al-Baqqrah 286) dan juga , “ Allah menghendaki bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah 185) atau, …….dan dia tidak menjadikan kesulitan bagimu dalam beragama.” (QS. Al-Hajj 78).
Begitulah nuansa kemudahan dalam menjalankan ajaran agama yang bisa kita ambil, ketika menyimak beberapa sumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist tersebut.  Dalam pandangan mazhab sunni, banyak sekali mazhab-mazhab yang bisa dianut dan dipelajari, tapi yang lebih terkenal dan termashur adalah empat mazhab, dianataranya : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Disamping itu kami juga akan mencoba memasukan satu mujtahid lagi yaitu Imam Ja’far.
Yang harus kita ketahui adalah bahwa mazhab-mazhab kesemuanya itu kita boleh mengikutinya, tidak tertentu pada satu mazhab saja. Kita boleh pindah mazhab asalkan secara keseluruhan bukan hanya separo-separo saja. Semisal dalam bab wudhu jika kita mengikuti Imam Maliki maka dari syarat,rukun, dan juga yang memabatalkan juga ikut Imam Maliki. Tidak boleh syaratnya ikut Imam Syafi’i tapi yang membatalkan ikut Imam Hanafi, atau sebaliknya. Jadi bisa serasi dalam mengikuti pendapat-pendapat para Imam mazhab tersebut.
Dalam persepsi terdahulu kita sama-sam menetahui bahwa pada permulaan islam tidak ada mazhab-mazhab dan tidak ada sekte-sekte dalam islam, dan pada awal islam muncul islam bersih dari pengaruh-pengaruh luar, dan kaum muslimin pada waktu itu mencapai kejayaan. Dan diketahui pula bahwa adanya sekte-sekte dan mazhab juga bisa memecah kaum muslim dalam beberpa golongan. Dan dari pemimpin islam sendiri akhirnya membuka pintu ijtihat dengan maksud ingin menyatukan kembali dan merangkul semua golongan islam yang telah terpecah. Dan juga memeberikan ultimatum keras terhadap golongan yang berpedoman mengharamkan mazahab lain selain mazhab yang dia anut dan juga membarantas penyelewengan-penyelewengan terhadap agama.
Munculnya mazhab adalah salah satu yang pempeloporinya adalah dari segi kehidupan yang bebeda baik dari kebiasaan dalam kebudayaan atau dalam kehidupan keseharian.
BAB II
KENAPA HARUS BERMAZHAB
Dalam beberapa kejadian mungkin hadis atau maqolah ulama’ yang menyebutkan bahwa “ ulama adalah pewaris para Nabi”. Disini bisa kita ambil kesimpulan bahwa para ulama sebagai pewaris para nabi bukanlah dari harta atau yang lain, tapi para ulama mewarisi ilmu. Dan itu sampai sekarang baik dari cara sholat, hokum jual beli, mengurus jenazah, cara toleransi kepada agama lain. Mungkin tidak secara gambling dijelaskan dalam al-qur’an atau dalam hadist.
Oleh sebab itu adanya penggalian hukum yang dilakukan oleh para shohabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, dan sampai pada ulama’ mujtahid. Banyak ulama’ yang berijtihat dan banyak pula hukum-hukum yang  disampaiakan, walau banyak macam variasi-variasi atau pilihan-pilihan hokum. Semisal antara dari kota satu ke kota yang lain para ulama’ berseling pendapat atau berbeda pendapat, tapi semuanya itu adalah rahmat bagi kita. Kita yang disuguhi beberapa hukum tinggal memilih saja salah satu yang sesuai dengan keadaan kita dan lingkungan kita.
Banyak hal yang bisa kita lakukan, kita juga bisa berijtihat sendiri untuk menentukan hukum pada masa sekarang ini, tapi permasalahanya adalah apakah kita mampu menggali hukum-hukum yang hakikatnya telah banyak dicetuskan dalam kehidupan kita,contoh saja pendapatnya Imam syafi’I yang banyak kelaku di Indonesia ini, kita tanpa harus susah payah menentukan hukum, toh dalam kitab-kitab atau pendapat-pendapatnya imam syafi’I sudah banyak diatur disitu.
BAB III
RIWAYAT BEBERAPA MAZHAB SUNNI
1.    IMAM JA’FARI
Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 hijriah (699 m). ibunya bernama Ummu Farwah Binti Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq.
Beliau berguru langsung dengan ayahnya Muhammad Al-Baqir disekolah ayahnya, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar islam. Ja’far As-Shodiq adalah ulama’ besar dalam berbagai fans ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawwuf, fiqih, kimia, dan ilmu kedokteran. Walau dia adalah imam keenam dari dalam mazhab syi’ah immamah. Tapi menurut golongan sunni dia adalah seorang mujtahid dalam ilmu fiqih,dan juga dia dianggap sebagai ulama’ sufi, karena dalam dirinya terdapat puncak pengetahuan. Dan dia juga salah satu ulama’ zuhud yang terkenal dan jauh dari segala hawa nafsu.
Imam Abu Hanifah berkata “ saya tidak dapati orang yang lebih faqih dari Ja’far bin Muhammad”.
Diantara murid-murinya adalah Abu Hanifah (wafat 150 H/767M), Malik Bin Anas (wafat 179 H/797 M) dan Wasil bin Ata’ (wafat 181H/797 M). dan masih banyak lagi murid-murid beliau seperti muslim al-hallaj dan sekitar 900 syaikh yang belajar pada beliau waktudi kuffah.
2.    IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Stabit bin Zufi At-Tamami. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Dilahirkan di kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qolid bin Abdul Malik, Abu Hanifah sejak kecil sudah belajar mengkaji dan menghapat Al-Qur’an. Dalam hal mendalami Al-Qur’an beliau pernah belajar pada Imam Asin yang menjadi ulama’ terkenal pada masa itu dan termasuk dalam Qiro’ah Sab’ah pada masa sekarang.
Selain mendalami Al-Qur’an beliau juga mendalami fiqih. Dalam hal ini beliau berguru kepada kalangan sahabat Rosullah diantaranya Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa, dan Abu Tufail Amir, dan banyak lagi yang lain dari mereka beliau belajar juga ilmu hadist.
Keluarga beliau adalah dari kalangan pedagang, dan beliau juga pernah menimba ilmu fiqih pada ulama yang tenama yaitu Humad bin Abu Sulaiman. Tidak kurang dari 18 tahun. Setelah gurunya wafat beliau mulai mengajar dibanyak majelis ilmu di Kuffah.
Semasa hidupnya beliau terkenal dengan ulama’ yang zuhud dan sangat tawaddu’dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau tidak tertarik dalam jabatan-jabatan kenegaraan, sehinga beliau pernah menolak sebagai hakim (qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon karena penolakanya itu beliau dipenjarakan selama akhir hayat hidup beliau.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Bilau dimakamkan di pemakaman Khizra. Pada tahun 450 H/ 1066 M, didirikan sebuah sekolahan yang diberinama Jami’ Abu Hanifah sebagai tanda untuk mengenang beliau.
Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-murid beliau yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarok, Waki’ bin Jarah, sedang diantara kitab-koitab beliau adalah Al-Musuan ( kitab hadist, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij ( buku ini dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan Fiqih Akbar (kitab fiqih yang lengkap).
3.    IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. beliau berasal dari Kabilah Yamaniyah. Sejak kecil beliau telah rajin mendatangi majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur’an. Tak kurang dari itu ibundanya sendiri yang mendorong imam malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.
Pada mulanya beliau belajar dari Rabi’ah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga memelajari ilmu fiqih dari para sahabat.
Karena ketekunan dan kecerdasannya, Imam Malik tumbuh sebagai ulama terkemuka, beliau juga mengajarka ilmunya setelah merasa mampu untuk menularkan ilmunya. Beliau juga termasuk ulama yang sangat berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa-fatwa apalagi meneliti tentang hadist-hadist Rasulallah, dan memusyawarahkan kepada kurang lebih 70 ulama dalam mengeluarkan fatwa atau tentang kesahihan hadis Nabi.
Disamping itu, beliau juga memiliki daya ingat yang sangat kuat dan juga terkenal dengan keihlasanya dalam melakukan sesuatu. Belaiu juga perbah berkata “ilmu adalah cahaya, ia akan mudah dicapai dengan hati yang khusu’ dan taqwa. Salah satu karangan beliau tentang hadist dan fiqih adalah kitab Al-Mutawatha’.
Imam malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, Mazhab maliki tersebar luas dan dianut dibanyak bagian seluruh penjuru dunia. 
4.    IMAM SYAFI’I
Imam Syafi’i yang dikenal dengan sebagai pendiri Mazhab Syafi’i adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Walaupun beliau dilahirkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluarga yang miskin, tak menjadikan beliau merasa rendah diri atau malas dalam belajar ilmu pengetahuan, bahkan beliau telah menghapalkan Al-Qur’an dalam usia yang masih kecil. Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan mekkah mempelajari ilu fiqih dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam ilmu pengetahuanya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari ilmu fiqih dari murid imam Abu Hanifah yang masih ada.
Setelah wafatnya Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke yaman guna mengamalkan ilmu disana. Suatu ketika beliau di undang oleh kholifah harun al rasyid ke bagdad karena mendengar kehebatan ilmu beliau. Sejak saat itu beliau dikenal secara luas dan banyak yang berbondong-bondong belajar kepadanya.
Selang beberapa waktu imam syafi’I kembli ke mekah guna mengajar rombongan haji yang dating dari beberapa penjuru. Melalui merekalah mazhab syafi’I tersebar luas ke penjuru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Mesir untuk mengajar di masjid amru bin as. Belau juga menulis kitab Al-Um, Amali kubra, kitab Risalah, Ushul Al-fiqh, dan memperkenalkanya, disini juga beliau mengeluarkan qoul jaddidnya. Dan beliau wafat di mesir pada tahun 204 H bahkan sampai saat ini makam beliau masih ramai diziharai orang dari berbagai penjuru dunia.
5.    IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Ahmad bin Hambal adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di bagdad pada bulan Rabiul awal tahun 164 H (780 M).
Sejak kecil beliau gemar dalam ilmu pengetahuan walau dalam keadaan yatim beliau tetap tegar dalam mencari ilmu. Untuk memperdalam ilmu beliau pergi ke Basrah dan disinilah beliau bertemu dengan Imam Syafi’I dan belajar disana. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. Diantara guru beliau adalah Yusuf Al-Hasan bin Zaid Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadist, oleh karena itu, beliau berhasil mengarang kitab hadist yang terkenal yaitu Musnad Ahmad Hambali. Beliau juga mengajar ketika berusia empat puluh tahun.
Imam ahmad hambali wafat di Bagdad pada usia 77 tahun atau tepatnya 241 H (855 M) pada masa pemerintahan Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.
BAB IV
SEJAUH MANA MASYARAKAT INDONESIA DALAM BERMAZHAB
Dalam pandangan kami, Indonesia dengan notabe Negara yang mayoritas menganut agama islam dan banyak sekali organisasi-organisasi islam. Adakalnya menganut mazhab tertentu dan adakalanya tidak mempunyai mazhab tertentu.jadi yang kita bahas kali ini adalah islam yang menganut mazhab tertentu dan di Indonesia ini cenderung menganut mazhab imam syafi’I, karena melihat dari kebudayaan dan lingkungan yang lebih cocok adalah pendapatnya Imam syafi’I yang kesekian pendapat atau fatwa beliau tidak terlalu berat dan juga tidak terlalu ringan.
Contohlah organisasi Nahdlotul Ulama (NU) yang masih dalam keeksistensinya masih memperjuangkan tradisi-trdisi ulama terdahulu yang tidak mengesampingkat kultur dalam Negara Indonesia ini. Dan sering pula diadakan bahsu masai’il untuk mengeluarkan hokum-hukum yang dikira belum ada pada masa dahulu dan baru muncul pada masa sekarang ini.
BAB V
PENUTUP
Bermazhab sangat penting karena kita bisa menjalankan hokum-hukum yang belum ada pada zaman Rosul, dan untuk membudayakan kecintaan kita kepada Nabi dengan cara mnghormati dan menjalankan pula fatwa-fatwa shohabat Nabi hingga ulama sekarang. Karena Rosul pernah besabda yang artinya “ wahai kaumku berpegang teguhlah pada sunnahku, dan sunnah Khulafaurrosyidin”.
Dan dalam hadist lain juga Rasul bersabda yang artinya sebagai berikut “ berbedaan pendapat atau fatwa dari ummatku adalah Rahmat.” Dalam keseharian kita juga tak lepas dengan adanya mata rantai yang ada pada sekitar kita, begitu halnya dengan ilmu yang kita gapai semua adalah mata rantai dari Rosul yang hakikatnya adalah disambungkan lewat ulama setelah Rosul SAW. Hingga sekarang, walau banyak terjadi perbedaan tapi hakikatnya semua sama. Cuma caranya yang berbeda, ulama adalah isolator kita tuk gapai sebuah ilmu syariah yang berbentuk fiqih dalam arti sempitnya.
Mungkin hanya ini yang dapat kami sampaikan, bila ada kurang dan lebihnya mohon di berikan tambahan atau kritikan dan saran yang sifatnya membangun agar bisa meningkatkan kemampuan kita dalam menganalisis sebuah masalah atau bahkan beberapa masalah “Ma ashoba min hasanatin famina Allah wama ashoba min sayyiatin famin nafsik”.

Jumat, 17 Mei 2013

Adab Murid Pada Guru Mursyid

Adab Murid Pada Guru Mursyid

Adab murid yang harus diperhatikan terhadap gurunya sebenarnya banyak sekali, tetapi yang terutama dan yang terpenting ialah bahwa seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya, sebaliknya harus membesarnya kedudukan gurunya itu lahir dan batin. Ia tidak boleh meremehkan, apabila mencemooh, mengecam gurunya di depan dan di belakang.

Salah satu yang harus ia yakini ialah bahwa maksudnya itu hanya akan tercapai karena didikan dan asuhan gurunya, oleh karena itu jika pandangan terpengaruh oleh pendapat guru-guru lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia dari mursyidnya, dan tidak akan terlimpah atasnya percikan cahaya Ilahi. Oleh karena itu, seorang murid harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal tersebut dibawah ini:

1. Harus menyerahkan diri dan tunduk dengan sepenuhnya kepada gurunya, rela dengan segala apa yang diperbuat oleh gurunya, yang dikhidmatinya dengan harta benda dan jiwa raganya, dengan jalan demikian barulah terlahir iradah yang murni, dan muhibah, yang merupakan penggerak dalam usahanya, merupakan kebenaran dan keikhlasan yang tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan demikian.

2. Tidak boleh sekali-kali seorang murid menentang atau menolak apa yang dikerjakan gurunya, meskipun pekerjaan itu pada lahirnya kelihatan termasuk haram. Ia tidak boleh bertanya apa sebab gurunya berbuat demikian, tidak boleh tergores dalam hatinya mengapa pekerjaannya belum berjaya. Barangsiapa yang ingin memperoleh ajaran dari gurunya dengan sempurna, ia tidak menolak suatu apapun juga dari padanya. Dari seorang guru kadang-kadang kelihatan lukisan yang tercela pada lahirnya tetapi kemudian kelihatan terpuji dalam batinnya, seperti yang terjadi dengan Nabi Musa as terhadap Nabi Khaidir as. Seorang sufi melukiskan kewajiban murid terhadap Syaikh-nya dalam sajak sebagai berikut:

Engkau laksana mayat terlentang, di depan gurumu terletak membentang
Di cuci dibalik laksana batang, janganlah engkau berani menentang
Perintahnya jangan kau elakkan, meskipun haram seakan-akan
Tunduk dan taat diperintahkan, engkau pasti ia cintakan
Biarkan semua perbuatannya, meskipun berlainan dengan syara’-nya
Kebenaran nanti akan nyatanya, bagimu akan jelas rahasianya
Ingatlah cerita Khidir dan Musa, tentang pembunuhan anak desa
Musa seakan putus asa, pada akhirnya ia terasa
Pada akhirnya jelaslah sudah, tampak padanya secara mudah
Kekuasaan Allah tidak tertadah, ilmu-Nya luas tidak termadah

3. Seorang murid tidak boleh mempunyai maksud berkumpul dengan Syaikh-nya untuk tujuan dunia dan akhirat, dengan tidak menegaskan dan menandaskan kehendak kesatuan yang sebenar-benarnya, baik mengenai ikhwal, maqam, fana, maupun baqa’ dalam keesaan Tuhan. Karena jika tidak demikian itu maka ia merupakan seorang murid yang hanya menuntut kesempurnaan dirinya dan ikhwalnya sendiri.

4. Seorang murid tidak boleh melepaskan ikhtiarnya sendiri dan ikhtiar Syaikh-nya dalam segala pekerjaan, baik merupakan keseluruhan atau bagian-bagian ibadah dan adat kebiasaan. Setengah dari tanda seorang murid yang benar, bahwa ia begitu taat kepada Syaikh-nya, sehingga kalau Syaikh memerintahkan ia masuk ke dalam nyalanya api, ia mesti memasukinya, jika ia masuk tidak terbakar, benarlah ia, jika terbakar ia pasti dusta. Murid tidak boleh mempergunjingkan keadaan Syaikh-nya, karena yang demikian itu merupakan pokok kebiasaan yang biasanya banyak terjadi. Sebaiknya ia harus berbaik sangka kepada gurunya dalam setiap keadaan.

5. Begitu juga murid harus memelihara adab pada Syaikh-nya pada waktu ia tidak ada, sebagaimana ia memelihara adab pada guru itu pada waktu ia hadir besama-sama, dengan demikian ia selalu mengingat Syaikh-nya pada tiap keadaan, baik dalam perjalanan maupun tidak dalam perjalanan, agar ia beroleh berkahnya.

6. Seorang murid harus menganggap tiap berkah yang diperolehnya, baik berkah dunia maupun akherat, disebabkan oleh berkah Syaikh-nya itu. Ia tidak boleh menyembunyikan kepada gurunya sesuatu yang terjadi pada dirinya sendiri mengenai ikhwal, kekhawatiran, kejadian yang menimpa atas dirinya, segala macam kasyaf dan keramat, yang dianugerahi Allah sewaktu-waktu kepadanya semua itu diceritakan dengan terus terang kepada gurunya, sebab ilmu itu tak akan sampai kepada murid tanpa melewati seorang guru. Meskipun demikian tidak boleh seorang murid menafsirkan sendiri segala kejadian itu, dalam mimpinya dan segala kasyaf yang terbuka kepadanya, apalagi memegangnya dengan keyakinan, sebaliknya ia kemukakan semua kepada Syaikh-nya itu sambil menantikan jawabannya dengan tidak usah menagih jawaban itu secara mendesak. Jika ada seorang Syaikh lain bertanya kepada seorang murid tentang suatu masalah janganlah menjawab dengan segera masalah itu di depan gurunya.

7. Tidak boleh menyiarkan rahasia-rahasia gurunya. Tidak boleh mengawini seorang wanita yang kelihatan disukai oleh Syaikh-nya dan hendak dinikahinya, begitu juga tidak boleh kawin dengan seorang perempuan mantan istri gurunya, baik yang ditinggalkan cerai maupun ditinggal mati.

8. Seorang murid tidak boleh hanya mengeluarkan nasehat atau pandangan kepada gurunya, jika gurunya mempercakapkan suatu pekerjaan yang hendak dikerjakan. Begitu juga tidak boleh meninggalkan pekerjaan yang sedang dihadapi gurunya itu. Sebaliknya ia menyerahkan seluruh pikiran kepada gurunya dan menganggap bahwa gurunya itu meminta nasehat kepadanya hanya ditimbulkan oleh kecintaan semata-mata.

9. Apabila Syaikh-nya tidak ada, ia mengunjungi keluarganya dan berbuat baik segala khidmad karena pekerjaan itu akan mengikat hati gurunya. Apabila seorang murid memandang dirinya dengan penuh ujub karena amalnya atau memandang telah meningkat lebih baik dalam ikhwalnya, maka segera hal itu diadukan kepada gurunya, agar guru memberikan petunjuk, bagaimana mengobati penyakitnya itu. Jika didiamkan perasaan itu nanti pasti akan tumbuh menjadi riya’ dan munafik dalam hatinya.

10. Murid tidak boleh memberikan atau menjual kepada orang lain apa yang dihadiahkan oleh gurunya, meskipun gurunya itu mengijinkan menyerahkan pemberian itu kepada orang lain. Karena di dalam pemberian guru itu tersembunyi sirr kefakiran yang dicari-cari dan yang akan mendekatkan ia kepada Allah. Diantara adab-adab murid dalam tarekat dan yang dianggap ikhwalnya terbaik ialah bahwa ia memberikan harta bendanya sebagai sedekah atas permintaan Syaikh-nya, karena menurut ajaran bahwa seorang murid dianggap sudah sempurna taat kepada Syaikh-nya, yang kemudian dapat membawa dia kepada Tuhannya. Jika ia berbuat yang demikian itu, dengan lain perkataan mengorbankan untuk sedekah apa yang dicintainya.

11. Murid yang baik tidaklah menganggap ada suatu kekurangan pada Syaikh-nya, meskipun ia melihat kekurangan itu terjadi dalam kehidupannya seperti banyak tidur pada malam hari, kurang wara’ dan lain-lain. Karena kekurangan yang demikian itu kadang-kadang memang ditafsirkan Allah kepada wali-walinya dalam kelupaan dan kealpaan yang tidak terdapat tatkala mereka sadar. Dan apabila ia sadar, maka kekurangan itu akan dipenuhinya kembali.

12. Harus diingat seorang murid itu tidak boleh memperbanyak bicara di depan Syaikh-nya. Harus diketahui waktu-waktu berbicara itu, jika ia berbicara hendaklah tegas dengan adab, khuyu’, dan khudu’, dengan tidak berlebihan dari apa yang perlu. Kemudian ia menanti jawabnya dengan tenang, jika belum puas hendaknya ia bertanya kedua kalinya, sesudah itu terbataslah pertanyaan itu.

Tidak boleh sekali-kali dihadapan guru seorang murid berbicara keras, karena bicara keras itu dihadapan orang-orang besar termasuk adab yang tidak baik. Ia tidak boleh duduk bersimpuh di depannya, tidak boleh duduk di atas sajadah, tetapi memilih tempat yang dapat menunjukkan adab merendah diri dan mengecilkan dirinya. Seterusnya ia berkhidmad kepada Syaikh-nya, kata sufi “khidmad pada suatu bangsa merupakan amal shaleh”.

Cepat kaki ringan tangan mengenai segala apa yang diperintahkan oleh gurunya, tidak istirahat dan berhenti sebelum pekerjaan itu selesai. Lain dari pada yang tersebut diatas itu seorang murid harus mengingat ia menjauhkan diri dari segala pekerjaan yang dibenci oleh Syaikh-nya. Tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang dibenci Syaikh-nya tetapi mencintai orang yang dicintainya. Ia harus sabar jika Syaikh-nya belum memenuhi permintaannya dan tidak boleh menggerutu dan membandingkan dirinya dengan orang lain dalam pelayanan Syaikh-nya.

13. Tidak boleh duduk pada tempat yang disediakan bagi guru, tidak boleh enggan dan segan-segan terhadap segala pekerjaan, tidak boleh bepergian, tidak boleh kawin, tidak boleh mengerjakan suatu pekerjaan penting kecuali dengan ijinnya. Tidak boleh menyampaikan kepada orang lain pekerjaan Syaikh-nya kecuali yang dapat dipahami mereka itu sekedar kekuatan akalnya. Dan tidak menyampaikan salamnya melalui orang lain kepada Syaikh-nya, tetapi jika ada kesempatan menziarahinya sendiri.

Hakikat Adab dalam Tasawuf

Hakikat Adab dalam Tasawuf


Allah SWT berfirman: "Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS. An-Najm: 17).

Dikatakan bahwa ayat ini berarti, "Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah." Allah SWT berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim: 6).

Mengomentari ayat ini, Ibnu Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarilah mereka adab."

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahwa Nabi Muhammad Saw telah bersabda, "Hak seorang anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak."

Sa’id bin al-Musayyab berkata, "Barangsiapa yang tidak mengetahul hak-hak Allah SWT atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab."

Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah telah mendidikku dalam adab dan mendidikku dengan sangat baik. " (HR. Baihaqi)

Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab adalah orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini muncul istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah SWT. Dan akan mencapai Allah SWT dengan adab menaati-Nya." Beliau juga mengatakan,"Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti." Jelas bahwa yang Beliau maksudkan adalah diri Beliau sendiri.

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang Beliau, sebab saya melihat Beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, Beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira Beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal.

Tetapi Beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenung, ternyata Beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.

Al-Jalajili al-Bashri berkomentar, "Tauhid menuntut keimanan, jadi orang yang tak punya iman tidak bertauhid."

Iman menuntut syari'at, jadi orang yang tidak mematuhi syari'at berarti tak punya iman, dan tauhid. Mematuhi syari'at menuntut adab, jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syari'at, tidak memiliki iman dan tauhid."

Ibnu Atha’ berkata, "Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, "Apa artinya itu?" Dia menjawab, "Maksudku engkau harus mempraktikkan adab kepada Allah SWT baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab." Kemudian dia membacakan Syair : Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya. Jika diam, duhai cantiknya.

Abdullah al-Jurairi menuturkan, "Selama dua puluh tahun dalam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk, melaksanakan adab pada Allah SWT adalah lebih utama."

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Orang yang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian."

Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin ditanya, "Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah SWT?" Dia menjawab, "Ma’rifat mengenal Ketuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Jika, seorang ‘arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa."

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, "Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di pelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang."

Ditanyakan kepada Hasan al-Bashri, "Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektif untuk akhirat?" Dia menjawab, "Memahami agama, zuhud di dunia, dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah SWT."

Yahya bin Mu’adz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap Allah SWT akan menjadi salah seorang yang dicintal Allah SWT."

Sahl bin Abdullah mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Allah SWT dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya."

Ibnul Mubarak berkata, "Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan. " Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang yang beradab meninggalkan kita."

Dikatakan, "Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing":
1. menghindari orang yang berakhlak buruk.
2. memperlihatkan adab dan
3. mencegah tindakan yang menyakitkan."

Syaikh Abu Abdullah al-Maghribi membacakan syair berikut ini tentang adab: Orang asing tak terasing bila dihiasi tiga pekerti; menjalankan adab, diantaranya, dan kedua berbudi baik dan ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.

Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junaid berkata kepadanya, "Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!" Abu Hafs menjawab, "Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya."

Abdullah ibnul Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula."

Manshur bin Khalaf al-Maghribi menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada seorang Sufi, alangkah jeleknya adabmu!’ Sang Sufi menjawab, "Aku tidak mempunyai adab buruk." Orang itu bertanya, "Siapa yang mengajarmu adab?" Si Sufi menjawab, "Para Sufi."

Abu an-Nashr as-Sarraj mengatakan, "Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab:
  1. Manusia duniawi, yang cenderung memprioritaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 
  2. Manusia religius, yang memprioritaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu;
  3. Kaum terpilih (ahlul khushushiyah), yang berkepedulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, dan menjalankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya."
Diriwayatkan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan, "Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus."

Dikatakan, "Kesempurnaan adab tidak bisa dicapai kecuali oleh para Nabi - semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka - dan penegak kebenaran (shiddiqin)."

Abdullah ibnul Mubarak menegaskan, "Orang berbeda pendapat mengenai apa yang disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri."

Dulaf asy-Syibli berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah SWT berarti meninggalkan adab."

Dzun Nun al-Mishri berkomentar, "Adab seorang ‘arif melampaui adab siapa pun. Sebab Allah Yang dima’rifati, Dialah yang mendidik hatinya. "

Salah seorang Sufi mengatakan, "Allah SWT berfirman: "Barangsiapa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Kubuka padanya, jauh dari hakikat Dzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya." Pilihah, mana yang engkau sukai: adab atau kebinasaan."

Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata, "Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab. " Statemen ini didukung oleh hadits yang menceritakan Nabi Muhammad Saw sedang berada bersama Abu Bakar ra dan Umar ra. Tiba-tiba Utsman ra datang menjenguk Beliau. Nabi Muhammad Saw menutupi paha Beliau dan bersabda, "Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya?"

Dengan ucapannya itu Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa betapapun Beliau menghargai keadaan Utsman ra, namun keakraban antara Beliau dengan Abu Bakar ra dan Umar ra lebih Beliau hargai. Mendekati makna konteks ini, para Sufi bersyair berikut:
Padaku penuh santun nan ramah, maka, bila berhadapan dengan mereka yang memiliki kesetiaan dan kehormatan, kubiarkan aku mengalir aku berbicara apa adanya tanpa malu-malu.

Al-Junaid menyatakan, "Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur."

Abu Utsman al-Hiri mengatakan, "Manakala cinta telah menghujam sang pecinta, adab, akan menjadi keniscayaannya."

Ahmad an-Nuri menegaskan, "Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.

Dzun Nun al-Mishri berkata, "Jika seorang pemula dalam jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya."

Mengenai ayat: "Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang " (QS. Al-Anbiya’: 83).

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan, "Ayub tidak mengatakan, "Kasihanilah aku!" (irhamny), semata karena beradab dalam berbicara kepada Tuhan."

Begitu juga Nabi Isa as. mengatakan: "Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu." (QS. Al-Maidah: 118).

"Seandainya aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya." (QS. Al-Maidah: 116).

Komentar Syaikh ad-Daqqaq, "Nabi Isa as mengucapkan, "Aku tidak menyatakan" (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya."

Al-Junaid menuturkan, "Pada hari jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta, "Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.""

Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, "Pergilah bersama syaikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya." Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, "Wahai Abul Qasim, si fakir itu, hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!" Aku menjawab, "Barangkali Anda mengatakan sesuatu yang tak berkenan pada benaknya."

Dia menjawab, "Aku tidak mengatakan apa-apa." Aku pun menoleh, tiba-tiba si fikir duduk di dekat kami dan aku bertanya kepadanya, "Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?" Dia menjawab, "Wahai Syaikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengetahui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan dan berkata, "Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham." Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa cita rasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya."

Aku menjawab, "Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?" Dia berkata, "Wahai Abul Qasim, saya bertobat!"

Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.

Adab Mencari Ilmu

Adab Mencari Ilmu (Tasawuf)

Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata, saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Syaikh Abu Yazid berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf, sehingga ia ditanya).” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi berkata, “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”

Abu Hafsh berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

la juga berkata, "Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalla’ yang menanyakan tentang masalah tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jama'ah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian ia berkata kepada mereka, "Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu." Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, "Mengapa ia melakukan hal itu?" Maka ia menjawab, "aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal sedangkan aku masih memiliki empat dananiq.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika ia sedang mencari ilmu, "Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar tentang ghaib dan sangat mungkin anda adalah yang gaib.” Kemudian ia berkata, “Coba ulangi apa yang anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrahim al-Khawwash berkata, “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya dan berbicara tentang perbuatannya.”

Abu Ja’far ash-Shaidalani berkata: Ada seseorang bertanya suatu masalah kepada Abu Sa'id al-Kharraz. la hanya memberi isyarat tentang masalah yang ditanyakan. Abu Sa'id kemudian berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa yang Anda inginkan tanpa harus dengan isyarat dari Anda. Sebab orang yang banyak memberi isyarat pada Allah adalah orang yang paling jauh dari-Nya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf), niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya, sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit mencarinya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Bagiku tidak ada kelompok manusia dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka aku lakukan semua itu.”

Abu Ali ar-Rudzabari berkata, “Ilmu kami ini adalah ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abu Said al-Kharraz berkata, “Aku diberi tahu tentang Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah. Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Basrah. Sampai di sana kemudian aku masuk masjid Jami' Basrah. Ternyata ia duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari pembicaraannya setelah ia melihatku ialah, aku duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian ia memberi isyarat padaku, "Orang tersebut adalah Anda." Kemudian ia berkata, "Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan ghaib apa yang dihadirkan pada mereka. Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”

Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari ia pernah berkata kepada anggota majelisnya, “Kalian adalah leontin dari kalung, dimana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena mereka berbicara tentang ilmu ini (tasawuf).”

Saya mendengar Ja'far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi pernah berkata, “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami' yang duduk di sekeliling Anda.” Saya jawab, “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al-Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para penganggur.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Jika Sari as-Saqathi ingin mengajariku sesuatu maka ia menanyakan suatu masalah. Suatu hari ia pernah bertanya, "Wahai anak muda, apa syukur itu?" Maka aku menjawabnya, "Syukur ialah anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada anda." Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku tentang syukur sembari berkata, "Bagaimana jawabanmu tentang syukur? Coba ulangi jawabanmu!" Aku kemudian mengulanginya.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abu Ali ar-Rudzabari dari Syaikh Junaid al-Baghdadi. Diceritakan dari Sahl bin Abdullah bahwa ia pernah ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun ia tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya tentang alasan, mengapa waktu itu ia tidak mau berbicara tentang ilmu tersebut. Lalu ia menjawab, “Pada saat itu Dzun Nun masih hidup, sehingga aku sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawuf) ketika ia masih hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Andaikan di Mekkah ini aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma'rifat sekalipun hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarak yang harus ditempuh seribu farsah, sehingga aku bisa medengar langsung darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, "Aku mendengar satu kalimat dari Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang fana’ sejak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al-Jalla’, “Mengapa ayah anda disebut dengan al-Jalla’?” la menjawab, “Bukan karena kata al-Jalla’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi jika ia berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”

Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan orang arif yang berbicara tentang hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang bertanya kepada Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang suatu masalah, sedangkan ia tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka ia akan berkata: "Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah."
Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
"Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (QS. Ali Imran: 173).

Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii berkata, “Jika anda sedang duduk mendengar seorang syaikh berbicara tentang suatu ilmu, sementara anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan anda kencing di tempat anda duduk, akan lebih baik daripada anda bangkit dari tempat duduk anda untuk meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kurraini, “Jika ada seseorang yang berbicara tentang suatu ilmu yang ia sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih anda sukai, kalau kondisinya demikian, diam ataukah berbicara?” Kemudian ia menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”

Asy-Syibli berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menimbulkan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathi berkata, “Barangsiapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Dari masing-masing kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi mereka yang sanggup memahaminya."

Sejarah Tarekat Qadiriyah

Sejarah Tarekat Qadiriyah 

Suthanul Awliya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira' di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahannust dan khalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat Nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, sehingga tarekatnya dinamai Qadiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Sayyidina Ali ra. dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad Saw., dari Malaikat Jibril dan dari Allah SWT.

Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jilani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Syaikh Abu Yusuf al-Hamadani (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Syaikh Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Syaikh Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Syaikh Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qadiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya, baru berkembang setelah Syaikh Muhammad Ghawsh (w. 1517 M) juga mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syaikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syaikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nablusiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, 'Urabiyyah, Yafi'iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla'iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka'iyah, Bu'Aliyyah, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut "Syurafa Jilala".

Dari ketaudanan Nabi dan sahabat Ali ra. dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qadiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah SWT. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir "Laa ilaha Illa Allah" dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra., hingga disebut tarekat Qadiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya' dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih, lalu membaca shalawat tiga kali, Laa ilaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat "Laa Ilaha Illa Allah" kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah SWT-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu'tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab ra., ahli syiddatil haya' sahabat Usman bin Affan ra., ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah ra. dan Khalid bin Walid ra., ahli falak Zaid al-Farisi ra., ahli syi'ir Hasan bin Tsabit ra., ahli lagu Al Qur'an sahabat Abdillah bin Mas'ud ra. dan Ubay bin Ka'ab ra., ahli hadis Abi Hurairah ra., ahli adzan sahabat Bilal ra. dan Ibni Ummi Maktum ra., ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad Saw. adalah sahabat Zaid bin Tsabit ra., ahli zuhud Abi Dzarr ra., ahli fiqh Mu'ad bin Jabal ra., ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi ra., ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A'uf ra. dan sebagainya.

Petunjuk Bagi Murid Dalam Memilih Guru

Petunjuk Bagi Murid Dalam Memilih Guru

Diantara perilaku seorang murid dalam berguru, hendaknya tidak berguru kecuali kepada seorang guru yang ilmu syari'atnya benar-benar kuat dan mendalam. Hal ini dimaksudkan agar dengan guru yang ilmu syari'atnya mendalam, sang murid merasa cukup dan tidak butuh berguru lagi kepada orang lain.

Syaikh Muhammad asy-Syanawi menjelaskan, bahwa suatu ketika ia pernah berkata kepada gurunya, Syaikh Muhammad as-Surawi, “Guru, aku ingin mengunjungi si guru (syaikh) fulan.” Rupanya Tuan Guru tidak ingin muridnya mencari guru lain, dan berkata dengan menampakkan kecemberutan di wajahnya, "Wahai Muhammad, bila engkau belum merasa cukup denganku, lalu bagaimana engkau menjadikan aku sebagai gurumu?” Maka sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi guru lain sampai beliau wafat.

Maka bisa diketahui bahwa orang yang sudah ditakdirkan untuk masuk ke dalam tarekat dan diambil sumpahnya (bai'at) oleh seorang guru yang ilmu syari'atnya kurang mendalam, maka tidak ada salahnya ia berkunjung dan berkumpul dengan guru lain, sebagaimana kondisi yang terjadi pada sebagian besar para guru di zaman ini. Maka ungkapan Syaikh Abu Qasim al-Qusyairi, “Dianggap kurang baik seorang murid mengikuti madzhab lain yang bukan madzhab gurunya. Akan tetapi ia hanya diperkenankan mengikuti pada gurunya saja.” Ini jelas ditujukan untuk murid yang mendapatkan guru yang benar-benar mendalami ilmu syari'at secara sempurna. Maka tidak ada jeleknya seorang murid mencari dan menisbatkan dirinya ke madzhab lain yang bukan gurunya, bila gurunya tidak benar-benar mendalami ilmu syari'at, bahkan hal itu wajib ia lakukan.

Seorang Sufi Juga Seorang Yang Fakih
Imam Ahmad bin Hanbal dengan kebesaran dan keagungannya ketika ia tidak mampu menyelesaikan masalah, ia akan bertanya kepada sang sufi, Abu Hamzah al-Baghdadi, “Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini wahai sang sufi?” Maka apa yang dikatakan Abu Hamzah akan dijadikan pegangan. Hal ini cukup menjadi catatan sejarah bagi para guru sufi. Demikian pula dengan kisah al-Qadhi Ahmad bin Syuraih yang juga mengakui kelebihan Syaikh Abu Qasim al-Junaid ra, dimana ia juga mengikuti majelis halaqah al-Junaid, dan ketika ditanya tentang ungkapan-ungkapan al-Junaid, ia tidak banyak berkomentar dan hanya mengatakan, “Aku tidak paham sedikit pun apa yang ia katakan, akan tetapi serangan-serangan ungkapannya bukan ucapan yang tidak berarti.”

Syaikh Abu Qasim al-Junaid ra berkata:
“Andaikan aku tahu bahwa di bawah kolong langit ini Allah memiliki ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kaum sufi ini tentu aku akan berangkat ke sana.” Ia juga pernah berkata: “Tidak pernah ada ilmu yang turun dari langit dan Allah memberi jalan kepada makhluk untuk pergi ke sana kecuali Allah juga memberiku bagian pada ilmu tersebut.”

Syaikh Abu al-Qasim al-Qusyairi ra berkata:
“Seluruh guru tarekat sufi telah membuat aturan, bahwa salah seorang dari mereka tidak akan memimpin suatu tarekat sama sekali kecuali ia mendalami ilmu syari'at secara sempurna dan telah sampai pada tingkatan kasyaf (tersingkap seluruh hijab). Dimana tingkatan ini sudah tidak butuh lagi mencari dalil (argumentasi). Dan apa yang dilakukan oleh murid untuk menisbatkan diri kepada orang lain (yang bukan kaum sufi) dan membaca ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu kaum sufi hanyalah karena ketidaktahuan si murid terhadap tingkatan spiritual mereka. Sebab argumentasi kaum sufi lebih kuat dan valid daripada argumentasi kelompok lain. Ini karena argumentasi mereka didukung dengan metode kasyaf. Dan setiap ada seorang dari kaum sufi yang hidup di suatu kurun, mesti para ulama di kurun tersebut akan hormat dan tunduk pada si sufi tersebut dan melakukan isyarat-isyaratnya. Mereka meminta kepada sang sufi untuk membantu menghilangkan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Andaikan bukan kesaksian para ulama sufi akan masalah-masalah yang menyuarakan ketinggian kedudukan mereka, tentu masalahnya akan sebaliknya, dan tidak seperti itu.” Kami telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam Kitab al-Qawa'id ash-Shufiyyah al-Kubra - Dan hanya Allah Yang Maha Tahu.

Bolehkah Murid Menjadikan Lebih Dari Seorang Guru?
Diantara perilaku yang harus dilakukan seorang murid hendaknya hanya mengambil dan menjadikan seorang guru. Maka ia tidak diperkenankan sama sekali menjadikan dua orang guru. Sebab tarekat kaum sufi dibangun atas dasar tauhid murni. Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah bab ke-181, menuturkan sebagai berikut: “Perlu anda ketahui, bahwa seorang murid hanya diperkenankan menjadikan seorang guru. Sebab hal itu lebih bisa menolongnya dalam menempuh tarekat. Kami tidak pernah melihat seorang murid pun yang sukses dalam menempuh tarekat di bawah bimbingan dua orang guru (tarekat). Sebagaimana di alam ini tidak ada dua Tuhan, tidak ada seorang mukalaf yang hidup diantara dua rasul, dan tidak ada seorang perempuan yang menjadi istri dari dua orang suami, maka demikian pula seorang murid tidak boleh mengambil dua orang guru.” Ini berlaku untuk murid yang mengikat dirinya dengan seorang guru (tarekat) dengan tujuan suluk menuju Allah. Adapun orang yang tidak mengikat dirinya dengan seorang guru, tapi ia sekadar mencari berkah dari guru, maka orang seperti yang terakhir ini tidak dilarang untuk berkumpul dengan guru siapa pun.

Syaikh Ali al-Murshifi - rahimahullah - mengatakan: “Barangsiapa diuji untuk bersahabat dengan dua orang guru atau lebih, maka hendaknya menjadikan gurunya yang hakiki selalu berada di belahan hatinya, disamping ia mencintai Rasulullah Saw. Sebab gurunya itu sebagai pengganti Rasulullah Saw dalam memberi nasihat kepada umatnya dan menunjukkan mereka kejalan yang benar.”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami pernah berkata: “Barang siapa tidak memiliki seorang guru maka ia menyekutukan dalam tarekat, sedangkan orang yang menyekutukan dalam tarekat gurunya adalah setan.”

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq - rahimahullah - mengatakan: “Seseorang tidak akan mampu suluk di tarekat kaum sufi tanpa seorang guru. Sebab perjalanan ini menempuh keghaiban atau ghaibnya keghaiban. Ibarat sebatang pohon apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang menanamnya maka tidak ada seorang pun yang bakal memanfaatkan buahnya sekalipun tumbuh bersemi dan daunnya rindang, bahkan bisa jadi tidak akan berbuah untuk selamanya. Coba anda perhatikan wahai saudaraku, Tuan dari para rasul, Muhammad Saw, bagaimana dengan Jibril as yang menjadi perantara antara beliau dengan Tuhannya dalam menyampaikan wahyu. Dengan demikian anda tahu, bahwa menjadikan seorang guru adalah suatu keharusan bagi murid yang tidak bisa ditinggalkan.”

Syaikh Abu Yazid al-Busthami mengatakan: “Sungguh aku telah mengambil tarekatku ini dari guruku, antar orang ke orang.” Kemudian cukup jelas, bahwa para salaf saleh dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in tidak mengikatkan diri dengan seorang guru tertentu, tapi bisa jadi salah seorang dari mereka menjadikan lebih dari seratus orang guru. Ini karena mereka adalah orang-orang yang bersih dari kotoran dan ketololan nafsu, maka masing-masing orang dianggap orang yang sempurna yang tidak butuh kepada orang yang membimbing perjalanannya. Tapi ketika “wabah penyakit” ini semakin banyak dan mereka butuh disembuhkan, maka para guru tarekat memerintah para murid untuk mengikatkan diri dengan seorang guru, agar kondisi spiritual murid tidak kacau dan perjalanan yang ditempuhnya tidak terlalu panjang. Maka pahamilah!

Diantara perilaku seorang murid hendaknya membuang seluruh keterkaitan duniawi, dan hal ini hendaknya dijadikan modal utamanya. Sebab orang yang memiliki keterkaitan duniawi akan sedikit sekali bisa berhasil, karena keterkaitan tersebut akan menyeretnya mundur ke belakang. Oleh karenanya mereka mengatakan: “Diantara syarat orang yang bertobat adalah menjauhi teman-teman jahat, dimana mereka akan menjadi temannya dalam melakukan maksiat sebelum ia bertobat. Sebab mendekat kepada mereka barangkali bisa menyeretnya mundur ke belakang dengan melakukan perbuatan yang sebelumnya ia sudah bertobat darinya.”

Imam al-Qusyairi - rahimahullah - berkata: “Seorang murid wajib melakukan kegiatan yang selalu mengosongkan hatinya dari segala kesibukan. Dan diantara kesibukan-kesibukan yang sangat berat adalah berusaha keluar dari harta yang ia miliki. Sebab dengan harta yang ada di tangannya itu akan bisa berpaling dari jalan yang lurus (istiqamah), karena lemahnya si murid. Sebenarnya tidak boleh ia menyimpan harta kecuali setelah ia benar-benar sempurna dalam perjalanan tarekatnya.” Ia juga mengatakan: “Para guru merasa berat dan tidak mampu menggandeng perjalanan seorang murid yang memiliki keterkaitan dengan duniawi. Maka perjalanan mereka dengan menggandeng murid ini sangat lemah dan lamban. Barangkali umurnya telah habis sementara mereka belum bisa sampai pada tingkat kesempurnaan yang ia inginkan.” * Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Tauhid Dan Makrifatullah

Tauhid dan Makrifatullah

Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman;

"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS. 13:15)

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syaikh Ibnu Atha'illah mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.

Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-Asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.

Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan makrifat tauhid dengan interpretasi pribadi, yaitu :
  • Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
  • Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
  • Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama' (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
  • Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Syaikh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.

Tauhid Af'al pada pengertian Syaikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif.

Tauhid Af’al adalah Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthma'innah.

Dalam Samudera Asma', maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu." (QS. 7:180). Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja', keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.

Di tepian Samudera Asma' adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.

Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya.

Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.

Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya.

Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar).

Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.

Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syaikh al-Banjari memang didasarkan pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena, pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.

Kamis, 16 Mei 2013

Menyaksikan Allah SWT.

SAMPAI KEPADA MAKAM MELIHAT KENYATAAN ZAT YANG MAHA SUCI.
Melihat Allah ada dua jenis: Pertama melihat sifat keindahan Allah yang sempurna secara langsung di akhirat’ dan satu lagi melihat sifat-sifat ketuhanan yang dipancarkan ke atas cermin yang jernih kepunyaan hati yang tulen di dalam kehidupan ini. Dalam hal tersebut penyaksian kelihatan sebagai penzahiran cahaya keluar daripada keindahan Allah yang sempurna dan dilihat oleh mata hati yang hakiki. “Hati tidak menafikan apa yang dia lihat”. (Surah Najmi, ayat 11).
Mengenai melihat kenyataan Allah melalui perantaraan, Nabi s.a.w bersabda, “Yang beriman adalah cermin kepada yang beriman”. Yang beriman yang pertama, cermin dalam ayat ini, adalah hati yang beriman yang suci murni, sementara yang beriman kedua adalah Yang Melihat bayangan-Nya di dalam cermin itu, Allah Yang Maha Tinggi. Sesiapa yang sampai kepada makam melihat kenyataan sifat Allah di dalam dunia ini akan melihat Zat Allah di akhirat, tanpa rupa tanpa bentuk.
Kenyataan ini disahkan oleh Saidina Umar r.a dengan katanya, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Saidina Ali r.a berkata, “Aku tidak menyembah Allah kecuali aku melihat-Nya”. Mereka berdua tentu telah melihat sifat-sifat Allah dalam kenyataan. Jika seseorang melihat cahaya matahari masuk melalui jendela dan dia berkata, “Aku melihat matahari”, dia bercakap benar.
Allah memberi gambaran yang jelas tentang kenyataan sifat-sifat-Nya:
“Allah itu nur bagi langit-langit dan bumi. Bandingan nur-Nya (adalah) seperti satu kurungan pelita yang di dalamnya ada pelita (sedang) pelita itu dalam satu kaca, (dan) kaca itu sebagai bintang yang seperti mutiara, yang dinyalakan (dengan minyak) dari pohon yang banyak faedah (iaitu) zaitun yang bukan bangsa timur dan bukan bangsa barat, yang minyaknya (sahaja) hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, nur atas nur, Allah pimpin kepada nur-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mengadakan perumpamaan bagi manusia, dan Allah mengetahui tiap sesuatu”. (Surah Nuur, ayat 35).
Perumpamaan dalam ayat ini adalah hati yang yakin penuh di kalangan orang yang beriman. Lampu yang menerangi bekas hati itu ialah hakikat atau intipati kepada hati, sementara cahaya yang dipancarkan ialah rahsia Tuhan, ‘roh sultan’. Kaca adalah lutsinar dan tidak memerangkap cahaya di dalamnya tetapi ia melindunginya sambil menyebarkannya kerana ia umpama bintang. Sumber cahaya adalah pohon Ilahi. Pohon itu adalah makam atau suasana keesaan, menjalar dengan dahan dan akarnya, memupuk prinsip-prinsip iman, berhubung tanpa perantaraan dengan bahasa yang asli.
Secara langsung, melalui bahasa yang asli itulah Nabi s.a.w menerima pembukaan al-Quran. Dalam kenyataan Jibrail membawa firman Tuhan hanya setelah firman tersebut diterima – ini adalah untuk faedah kita supaya kita boleh mendengarnya dalam bahasa manusia. Ini juga memperjelaskan siapakah yang tidak percaya dan munafik dengan memberi mereka peluang untuk menafikannya seperti mereka tidak percaya kepada malaikat.
“Dan sesungguhnya diwahyukan kepada kamu Quran (ini) dari sisi (Tuhan) yang bijaksana, yang mengetahui”. (Surah Naml, ayat 6).
Oleh kerana Nabi s.a.w menerima pembukaan sebelum Jibrail membawanya kepada baginda, setiap kali Jibrail membawa ayat-ayat suci itu Nabi s.a.w mendapatinya di dalam hatinya dan membacanya sebelum ayat itu diberikan. Inilah alasan bagi ayat:
“Dan janganlah engkau terburu-buru dengan Quran sebelum habis diwahyukan kepada kamu”. (Surah Ta Ha, ayat 114).
Keadaan ini menjadi jelas sewaktu Jibrail menemani Nabi s.a.w pada malam mikraj, Jibrail tidak terdaya untuk pergi lebih jauh daripada Sidratul Muntaha. Dia berkata, “Jika aku ambil satu langkah lagi aku akan terbakar”. Jibrail membiarkan Nabi s.a.w meneruskan perjalanan seorang diri.
Allah menggambarkan pokok zaitun yang diberkati, pokok keesaan, bukan dari timur dan bukan dari barat. Dalam lain perkataan ia tidak ada permulaan dan tidak ada kesudahan, dan cahayanya yang menjadi sumber tidak terbit dan tidak terbenam. Ia kekal pada masa lalu dan tiada kesudahan pada masa akan datang. Kedua-dua Zat Allah dan sifat-sifat-Nya adalah kekal abadi. Kedua-dua kenyataan Zat-Nya dan kenyataan sifat-Nya bergantung kepada Zat-Nya.
Penyembahan yang sebenar hanya boleh dilakukan apabila hijab yang menutup hati tersingkap agar cahaya abadi menyinarinya. Hanya selepas itu hati menjadi terang dengan cahaya Ilahi. Hanya selepas itu roh menyaksikan perumpamaan Ilahi itu.
Tujuan diciptakan alam maya adalah untuk ditemui khazanah rahsia itu. Allah berfirman melalui Rasul-Nya:
“Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi. Aku suka dikenali lalu Aku ciptakan makhluk agar Aku dikenali”.
Ini bermakna Dia boleh dikenali di dalam dunia ini melalui sifat-sifat-Nya. Tetapi untuk melihat dan mengenali Zat-Nya sendiri hanyalah boleh terjadi di akhirat. Di sana melihat Allah adalah secara langsung sebagaimana yang Dia kehendaki dan yang melihatnya adalah mata bayi hati.
“Beberapa muka pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat”. (Surah Qiamat, ayat 22 & 23).
Nabi s.a.w bersabda, “Aku melihat Tuhanku di dalam rupa jejaka tampan”. Mungkin ini adalah bayangan bayi hati. Bayangan adalah cermin. Ia menjadi alat untuk menzahirkan yang ghaib. Hakikat Allah Yang Maha Tinggi tidak menyerupai sesuatu samada bayangan atau bentuk. Bayangan adalah cermin, walaupun yang kelihatan bukanlah cermin dan bukan juga orang yang melihat ke dalam cermin. Fikirkan tentang itu dan cubalah memahaminya kerana ia adalah hakikat kepada alam rahsia-rahsia.
Tetapi semuanya berlaku pada makam sifat. Pada makam Zat semua kenyataan hilang, lenyap. Orang yang di dalam makam Zat itu sendiri lenyap tetapi mereka merasai zat itu dan tiada yang lain. Betapa jelas Nabi s.a.w menggambarkannya, “Aku daripada Allah dan yang beriman daripadaku”. Dan Allah berfirman melalui Rasul-Nya:
Aku ciptakan cahaya Muhammad daripada cahaya Wujud-Ku sendiri”.
Maksud Wujud Allah adalah Zat-Nya Yang Maha Suci, menyata di dalam sifat-sifat-Nya Yang Maha Mengasihani. Ini dinyatakan-Nya melalui Rasul-Nya:
“Rahmat-Ku mendahului murka-Ku”.
Rasul yang dikasihi Allah adalah cahaya kebenaran sebagaimana Allah berfirman:
“Tidak Kami utuskan engkau melainkan menjadi rahmat kepada seluruh alam”. (Surah Anbiyaa’, ayat 107).
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu rasul Kami, menerangkan kepada kamu beberapa banyak dari (isi Kitab) yang kamu sembunyikan, dan ia tidak ambil tahu berapa banyak. Sesungguhnya telah datang kepada kamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan”. (Surah Maaidah, ayat 15).
Pentingnya utusan Allah yang dikasihi-Nya itu jelas dengan firman-Nya kepada baginda, “Jika tidak kerana engkau Aku tidak ciptakan makhluk”.

Sumber" kitab sirrilasror" 
karya: syekh abdul qodir jailani